Rabu, 19 November 2008

Hiperemesis Gravidarum




Pengertian
__________

Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi sampai umur kehamilan 20 minggu, muntah begitu hebat dimana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan sehingga mempengaruhi keadaan umum dan pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, dan terdapat aseton dalam urin bukan karena penyakit seperti appendisitis, pielititis, dan sebagainya.(1)

Etiologi
________

Tidak jelas.(2)

Klasifikasi(2,3,4)
___________

Secara klinis, hiperemesis gravidarum dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu :

1. Tingkat I
Muntah yang terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan minuman,
berat-badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertama keluar makanan,
lendir dan sedikit empedu kemudian hanya lendir, cairan empedu dan terakhir
keluar darah. Nadi meningkat sampai 100 kali per menit dan tekanan darah
sistole menurun. Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit berkurang dan urin
masih normal.
2. Tingkat II
Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus hebat,
subfebril, nadi cepat dan lebih 100-140 kali per menit, tekanan darah sistole
kurang 80 mmHg, apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus ada, aseton
ada, bilirubin ada dan berat-badan cepat menurun.
3. Tingkat III
Gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang atau berhenti, ikterus,
sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin ada, dan proteinuria.

Diagnosis(2,4)
_________

1. Amenore yang disertai muntah hebat (segala yang dimakan dan diminum akan
dimuntahkan), pekerjaan sehari-hari terganggu, dan haus hebat.
2. Fungsi vital : nadi meningkat 100 kali per menit, tekanan darah menurun pada
keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma).
3. Fisis : dehidrasi, keadaan berat, kulit pucat, ikterus, sianosis, berat badan
menurun, porsio lunak pada vaginal touche, uterus besar sesuai besarnya
kehamilan.
4. Laboratorium : kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit, shift to the left,
benda keton dan proteinuria.

Penatalaksanaan(2,3)
________________

1. Rawat di rumah sakit, batasi pengunjung.
2. Stop per oral 24-48 jam.
3. Infus glukosa 10% atau 5% : RL = 2 : 1, 40 tetes per menit.
4. Obat
- Vitamin B1, B2 dan B6 masing-masing 50-100 mg/hr/infus.
- Vitamin B12 200 mcg/hr/infus, vit. C 200/hr/infus.
- Phenobarbital 30 mg IM 2-3 kali per hari atau chlorpromazine 25-50 mg/hr IM
atau diazepam 5 mg 2-3 kali per hari IM.
- Antiemetik : prometazine (avopreg) 2-3 kali 25 mg per hari per oral atau
prochlorperazine (stimetil) 3 kali 3 mg per hari per oral atau mediamer B6 3
kali 1 per hari per oral.
- Antasida : acidrine 3 x 1 tab per hari per oral atau mylanta 3 x 1 tab per hari
per oral atau magnam 3 x 1 tab per hari per oral.
5. Diet
a. Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan hanya
berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama
makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Makanan ini kurang dalam zat-zat gizi
kecuali vitamin C karena itu hanya diberikan selama beberapa hari.
b. Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang. Secara
berangsur mulai diberikan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman
tidak diberikan bersama makanan. Makanan ini rendah dalam semua zat-zat
gizi kecuali vitamin A dan D.
c. Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan hiperemesis ringan.
Menurut kesanggupan penderita minuman boleh diberikan bersama makanan.
Makanan ini cukup dalam semua zat gizi kecuali kalsium.

Daftar Pustaka
______________

1. Fairwether. Nausea and Vomity in Pregnancy, Am J Obst. & gynec. 1968. vol. 102;
135-171.
2. Mannor SM. Hyperemesis Gravidarum. In : Iffty L, Kaminetzky HA eds. Principles
and Practise of Obstetric and Perinatology. Vol. 12. Toronto : A Wiley Medical
Publication. 1981. 1155-1164.
3. Greenhill. Obstetrics 12 th. ed. Philadelphia : WB. Saunders Company. 1961. 375-
377.
4. Belscher NA, Macky. Obstetric and the Newborn and Illustrated Textbook 2nd. ed.
Sydney : WB. Saunders Company 1986. 305.

Update : 15 Februari 2006

Sumber :

Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, dr. I.M.S. Murah Manoe, Sp.OG., dr. Syahrul Rauf, Sp.OG., dr. Hendrie Usmany, Sp.OG. (editors). Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Rumah Sakit Umum Pusat, dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, 1999.

KANKER SERVIKS


Menurut perkiraan Departemen Kesehatan saat ini ada sekitar 200 ribu kasus setiap tahunnya.

Penderita kanker mulut rahim di Indonesia ternyata jumlahnya sangat banyak. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan saat ini ada sekitar 100 kasusper 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Selain itu, lebih dari 70 persen kasus yang datang ke rumah sakitditemukan dalam keadaan stadium lanjut.

Menurut Dr. Bambang Dwipoyono SpOG dari divisi Kanker Ginekologik RS Kanker Dharmais Jakarta, faktor resiko epidemiologik penyumbang terjadinya dan berkembangnya kanker serviks adalah infeksi virus papiloma manusia atau Human Virus Papilloma (HVP). Akibat yang ditimbulkan penyakit ini diantaranya berupa penurunan harapan hidup, lamanya penderitaan, dan tingginya biaya pengobatan. “Karena itu upaya prevensi harus mulai dilakukan,” tegas Bambang.

Dia menyebutkan, berdasarkan data RS Kanker Dharmais, pasien yang menderita kanker serviks pada stadium lanjut pada tahun 1993-1997 sebanyak 710 kasus baru. Sebesar 65 persen pasien datang pada stadium lanjut (IIB-IV). Angka ketahanan hidup dalam dua tahun stadium lanjut tersebut berkisar 53,2 persen dan untuk stadium awal hampir 90 persen.

Bambang juga menambahkan, penelitian yang dilakukan Bank Dunia mendukung pendapat bahwa program penapisan kanker serviks tak hanya menyelamatkan jiwa tapi juga biaya yang dikeluarkan jadi murah. Sebagai perbandingan, program penapisan untuk satu orang untuk setiap lima tahun menghabiskan US$100 dan wanita tersebut masih dapat bekerja karena terhindar dari kanker serviks. Tapi di sisi lain, biaya pengobatan kanker US$2600 dan wanita tersebut tak dapat bekerja lagi.

Jika menilik perjalanan penyakit itu, menurut Bambang, hampir 90 persen kasus berasal dari epitel permukaan (epitel skuamosa). Didapatkan suatu keadaan yang disebut pembakal kanker atau prakanker. Keadaan tersebut dimulai dari yang bersifat ringan sampai menjadi karsinoma in situ yang semuanya dapat didiagnosa dengan skrining atau penapisan. Dalam proses perkembangannya, dapat terjadi perubahan atau perpindahan daru satu tingkat ke tingkat yang lain. “Dari yang ringan ke yang lebih berat atau sebaliknya,” papar Bambang.

Terjadinya perubahan tersebut diperlukan keadaan yang “cocok”, sehingga untuk menjadi kanker diperlukan waktu 10-20 tahun. Namun jika sudah menjadi kanker stadium awal, penyakit ini dapat menyebar ke daerah di sekitar mulut rahim.

Kondisi prakanker sampai karsinoma in situ (stadium 0) sering tak menunjukkan gejala karena proses penyakitnya berada di dalam lapisan epitel dan belum menimbulkan perubahan yang nyata dari mulut rahim. Pada akhirnya gejala yang ditimbulkan adalah keputihan, perdarahan paska sanggama dan pengeluaran cairan encer dari vagina. Lalu jika sudah menjadi invasif akan ditemukan gejala seperti perdarahan spontan, perdarahan paska sanggama, keluarnya cairan (keputihan) dan rasa tak nyaman saat melakukan hubungan seksual.

Dalam perjalanannya, lanjut Bambang, penyakit kanker mulut rahim membutuhkan waktu yang cukup lama dari kondisi normal sampai menjadi kanker. Dalam penelitian secara epidemiologik dan laboratorik ada beberapa faktor yang berperan secara langsung maupun tak langsung. Pertama, skrining atau penapisan. Dalam pemantauan perjalanan penyakit, diagnosis displasia sering ditemukan pada usia 20 tahunan. Karsinoma in situ pada usia 25-35 tahun dan kanker serviks invasif pada usia 40 tahun. “Untuk mendeteksi adanya kanker mulut rahim dengan cara tes pap yaitu pemeriksaan sitologi,”kata dia.

Kedua, penularan penyakit kanker ini melalui hubungan seksual. Penelitian awal menunjukkan tingginya kejadian kanker serviks pada perempuan lajang dan menikah pada usia muda. Terdapat pula peningkatan dua kali lipat pada perempuan yang mulai berhubungan seksual sebelum usia 16 tahun. “Juga meningkat pada perempuan dengan seksual partner yang multiple,” paparnya.

Ketiga, peran pasangan pria. Pada penelitian terhadap perempuan yang menikah dengan seorang laki-laki yang pernah mempuyai istri yang menderita kanker mulut rahim, kejadian penyakit kanker pada kelompok perempuan itu jadi meningkat. Keempat, karakteristik reproduksi dan menstruasi, dan terakhir faktor merokok.

Bambang memaparkan, untuk pengobatan kanker mulut rahim ditentukan oleh berat ringan penyakit atau stadium. Umumnya pada stadium awal tindakan operasi menjadi pilihan pertama. Pilihan modalitas pengobatan lain seperti penyinaran dan pemberian sitostatika (kemoterapi) dilakukan pada kasus yang lanjut atau khusus. Ada juga tindakan pengobatan berupa gabungan yang terdiri dari operasi dan radiasi; operasi dan kemoterapi; radiasi dan kemoterapi; atau operasi, radiasi dan kemoterapi.

Namun, tegas Bambang, upaya pencegahan kanker serviks merupakan langkah yang mesti dilakukan. Cara yang bisa dilakukan dalam rangka menurunkan faktor resiko seperti mencegah hubungan seksual pada usia dini, faktor pada pria, jumlah pasangan seks, dan kebiasaan merokok. Pencegahan ini bertujuan menghilangkan resiko perilaku seksual yang meningkatkan paparan terhadap virus papiloma manusia.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah memperbanyak mengkonsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning yaitu yang banyak mengandung beta karoten, vitamin C dan vitamin E. Serta vaksinasi terhadap virus papiloma yang bertujuan mencegah dan pengobatan terhadap infeksi virus. “Pemberian vaksin dilakukan sedini mungkin sebelum seseorang aktif melakukan hubungan seksual